Kisah
Pohon Natal merupakan bagian dari riwayat hidup St. Bonifasius, yang
nama aslinya adalah Winfrid. St. Bonifasius dilahirkan sekitar tahun 680
di Devonshire, Inggris. Pada usia lima tahun, ia ingin menjadi seorang
biarawan; ia masuk sekolah biara dekat Exeter dua tahun kemudian. Pada
usia empatbelas tahun, ia masuk biara di Nursling dalam wilayah
Keuskupan Winchester. St. Bonifasius seorang yang giat belajar, murid
abas biara yang berpengetahuan luas, Winbert. Kelak, Bonifasius menjadi
pimpinan sekolah tersebut.
Pada
waktu itu, sebagian besar penduduk Eropa utara dan tengah masih belum
mendengar tentang Kabar Gembira. St. Bonifasius memutuskan untuk menjadi
seorang misionaris bagi mereka. Setelah satu perjuangan singkat, ia
mohon persetujuan resmi dari Paus St. Gregorius II. Bapa Suci
menugaskannya untuk mewartakan Injil kepada orang-orang Jerman. (Juga
pada waktu itu St. Bonifasius mengubah namanya dari Winfrid menjadi
Bonifasius). St. Bonifasius menjelajah Jerman melalui pegunungan Alpen
hingga ke Bavaria dan kemudian ke Hesse dan Thuringia. Pada tahun 722,
paus mentahbiskan St. Bonifasius sebagai uskup dengan wewenang meliputi
seluruh Jerman. Ia tahu bahwa tantangannya yang terbesar adalah
melenyapkan takhayul kafir yang menghambat diterimanya Injil dan
bertobatnya penduduk. Dikenal sebagai “Rasul Jerman”, St. Bonifasius
terus mewartakan Injil hingga ia wafat sebagai martir pada tahun 754.
Marilah kita memulai cerita kita tentang Pohon Natal.
Dengan
rombongan pengikutnya yang setia, St. Bonifasius sedang melintasi hutan
dengan menyusuri suatu jalan setapak Romawi kuno pada suatu Malam
Natal. Salju menyelimuti permukaan tanah dan menghapus jejak-jejak kaki
mereka. Mereka dapat melihat napas mereka dalam udara yang dingin
menggigit. Meskipun beberapa di antara mereka mengusulkan agar mereka
segera berkemah malam itu, St. Bonifasius mendorong mereka untuk terus
maju dengan berkata, “Ayo, saudara-saudara, majulah sedikit lagi. Sinar
rembulan menerangi kita sekarang ini dan jalan setapak enak dilalui. Aku
tahu bahwa kalian capai; dan hatiku sendiri pun rindu akan kampung
halaman di Inggris, di mana orang-orang yang aku kasihi sedang merayakan
Malam Natal. Oh, andai saja aku dapat melarikan diri dari lautan Jerman
yang liar dan berbadai ganas ini ke dalam pelukan tanah airku yang aman
dan damai! Tetapi, kita punya tugas yang harus kita lakukan sebelum
kita berpesta malam ini. Sebab sekarang inilah Malam Natal, dan
orang-orang kafir di hutan ini sedang berkumpul dekat pohon Oak Geismar
untuk memuja dewa mereka, Thor; hal-hal serta perbuatan-perbuatan aneh
akan terjadi di sana, yang menjadikan jiwa mereka hitam. Tetapi, kita
diutus untuk menerangi kegelapan mereka; kita akan mengajarkan kepada
saudara-saudara kita itu untuk merayakan Natal bersama kita karena
mereka belum mengenalnya. Ayo, maju terus, dalam nama Tuhan!”
Mereka
pun terus melangkah maju dengan dikobarkan kata-kata semangat St.
Bonifasius. Sejenak kemudian, jalan mengarah ke daerah terbuka. Mereka
melihat rumah-rumah, namun tampak gelap dan kosong. Tak seorang pun
kelihatan. Hanya suara gonggongan anjing dan ringkikan kuda sesekali
memecah keheningan. Mereka berjalan terus dan tiba di suatu tanah lapang
di tengah hutan, dan di sana tampaklah pohon Oak Kilat Geismar yang
keramat. “Di sini,” St. Bonifasius berseru sembari mengacungkan tongkat
uskup berlambang salib di atasnya, “di sinilah pohon oak Kilat; dan di
sinilah salib Kistus akan mematahkan palu sang dewa kafir Thor.”
Di
depan pohon oak itu ada api unggun yang sangat besar. Percikan-percikan
apinya menari-nari di udara. Warga desa mengelilingi api unggun
menghadap ke pohon keramat. St. Bonifasius menyela pertemuan mereka,
“Salam, wahai putera-putera hutan! Seorang asing mohon kehangatan api
unggunmu di malam yang dingin.” Sementara St. Bonifasius dan para
pengikutnya mendekati api unggun, mata orang-orang desa menatap
orang-orang asing ini. St. Bonifasius melanjutkan, “Aku saudaramu,
saudara bangsa German, berasal dari Wessex, di seberang laut. Aku datang
untuk menyampaikan salam dari negeriku, dan menyampaikan pesan dari
Bapa-Semua, yang aku layani.”
Hunrad,
pendeta tua dewa Thor, menyambut St. Bonifasius beserta para
pengikutnya. Hunrad kemudian berkata kepada mereka, “Berdirilah di sini,
saudara-saudara, dan lihatlah apa yang membuat dewa-dewa mengumpulkan
kita di sini! Malam ini adalah malam kematian dewa matahari, Baldur yang
Menawan, yang dikasihi para dewa dan manusia. Malam ini adalah malam
kegelapan dan kekuasaan musim dingin, malam kurban dan kengerian besar.
Malam ini Thor yang agung, dewa kilat dan perang, kepada siapa pohon oak
ini dikeramatkan, sedang berduka karena kematian Baldur, dan ia marah
kepada orang-orang ini sebab mereka telah melalaikan pemujaan kepadanya.
Telah lama berlalu sejak sesaji dipersembahkan di atas altarnya, telah
lama sejak akar-akar pohonnya yang keramat disiram dengan darah. Sebab
itu daun-daunnya layu sebelum waktunya dan dahan-dahannya meranggas
hingga hampir mati. Sebab itu, bangsa-bangsa Slav dan Saxon telah
mengalahkan kita dalam pertempuran. Sebab itu, panenan telah gagal, dan
gerombolan serigala memporak-porandakan kawanan ternak, kekuatan telah
menjauhi busur panah, gagang-gagang tombak menjadi patah, dan babi hutan
membinasakan pemburu. Sebab itu, wabah telah menyebar di rumah-rumah
tinggal kalian, dan jumlah mereka yang tewas jauh lebih banyak daripada
mereka yang hidup di seluruh dusun-dusunmu. Jawablah aku, hai kalian,
tidakkah apa yang kukatakan ini benar?” Orang banyak menggumamkan
persetujuan mereka dan mereka mulai memanjatkan puji-pujian kepada Thor.
Ketika
suara-suara itu telah reda, Hunrad mengumumkan, “Tak satu pun dari
hal-hal ini yang menyenangkan dewa. Semakin berharga persembahan yang
akan menghapuskan dosa-dosa kalian, semakin berharga embun merah yang
akan memberi hidup baru bagi pohon darah yang keramat ini. Thor
menghendaki persembahan kalian yang paling berharga dan mulia.”
Dengan
itu, Hunrad menghampiri anak-anak, yang dikelompokkan tersendiri di
sekeliling api unggun. Ia memilih seorang anak laki-laki yang paling
elok, Asulf, putera Duke Alvold dan isterinya, Thekla, lalu memaklumkan
bahwa anak itu akan dikurbankan untuk pergi ke Valhalla guna
menyampaikan pesan rakyat kepada Thor. Orang tua Asulf terguncang hebat.
Tetapi, tak seorang pun berani berbicara.
Hunrad
menggiring anak itu ke sebuah altar batu yang besar antara pohon oak
dan api unggun. Ia mengenakan penutup mata pada anak itu dan menyuruhnya
berlutut dan meletakkan kepalanya di atas altar batu. Orang-orang
bergerak mendekat, dan St. Bonifasius menempatkan dirinya dekat sang
pendeta. Hunrad kemudian mengangkat tinggi-tinggi palu dewa Thor keramat
miliknya yang terbuat dari batu hitam, siap meremukkan batok kepala
Asulf yang kecil dengannya. Sementara palu dihujamkan, St. Bonifasius
menangkis palu itu dengan tongkat uskupnya sehingga palu terlepas dari
tangan Hunrad dan patah menjadi dua saat menghantam altar batu. Suara
decak kagum dan sukacita membahana di udara. Thekla lari menjemput
puteranya yang telah diselamatkan dari kurban berdarah itu lalu
memeluknya erat-erat.
St.
Bonifasius, dengan wajahnya bersinar, berbicara kepada orang banyak,
“Dengarlah, wahai putera-putera hutan! Tidak akan ada darah mengalir
malam ini. Sebab, malam ini adalah malam kelahiran Kristus, Putera Bapa
Semua, Juruselamat umat manusia. Ia lebih elok dari Baldur yang Menawan,
lebih agung dari Odin yang Bijaksana, lebih berbelas kasihan dari Freya
yang Baik. Sebab Ia datang, kurban disudahi. Thor, si Gelap, yang
kepadanya kalian berseru dengan sia-sia, sudah mati. Jauh dalam
bayang-bayang Niffelheim ia telah hilang untuk selama-lamanya. Dan
sekarang, pada malam Kristus ini, kalian akan memulai hidup baru. Pohon
darah ini tidak akan menghantui tanah kalian lagi. Dalam nama Tuhan, aku
akan memusnahkannya.” St. Bonifasius kemudian mengeluarkan kapaknya
yang lebar dan mulai menebas pohon. Tiba-tiba terasa suatu hembusan
angin yang dahsyat dan pohon itu tumbang dengan akar-akarnya tercabut
dari tanah dan terbelah menjadi empat bagian.
Di
balik pohon oak raksasa itu, berdirilah sebatang pohon cemara muda,
bagaikan puncak menara gereja yang menunjuk ke surga. St. Bonifasius
kembali berbicara kepada warga desa, “Pohon kecil ini, pohon muda hutan,
akan menjadi pohon kudus kalian mulai malam ini. Pohon ini adalah pohon
damai, sebab rumah-rumah kalian dibangun dari kayu cemara. Pohon ini
adalah lambang kehidupan abadi, sebab daun-daunnya senantiasa hijau.
Lihatlah, bagaimana daun-daun itu menunjuk ke langit, ke surga. Biarlah
pohon ini dinamakan pohon kanak-kanak Yesus; berkumpullah di
sekelilingnya, bukan di tengah hutan yang liar, melainkan dalam rumah
kalian sendiri; di sana ia akan dibanjiri, bukan oleh persembahan darah
yang tercurah, melainkan persembahan-persembahan cinta dan kasih.”
Maka,
mereka mengambil pohon cemara itu dan membawanya ke desa. Duke Alvold
menempatkan pohon di tengah-tengah rumahnya yang besar. Mereka memasang
lilin-lilin di dahan-dahannya, dan pohon itu tampak bagaikan dipenuhi
bintang-bintang. Lalu, St. Bonifasius, dengan Hundrad duduk di bawah
kakinya, menceritakan kisah Betlehem, Bayi Yesus di palungan, para
gembala, dan para malaikat. Semuanya mendengarkan dengan takjub. Si
kecil Asulf, duduk di pangkuan ibunya, berkata, “Mama, dengarlah, aku
mendengar para malaikat itu bernyanyi dari balik pohon.” Sebagian orang
percaya apa yang dikatakannya benar; sebagian lainnya mengatakan bahwa
itulah suara nyanyian yang dimadahkan oleh para pengikut St. Bonifasius,
“Kemuliaan bagi Allah di tempat mahatinggi, dan damai di bumi; rahmat
dan berkat mengalir dari surga kepada manusia mulai dari sekarang sampai
selama-lamanya.”
Sementara
kita berkumpul di sekeliling Pohon Natal kita, kiranya kita mengucap
syukur atas karunia iman, senantiasa menyimpan kisah kelahiran Sang
Juruselamat dalam hati kita, dan menyimak nyanyian pujian para malailat.
Kepada segenap pembaca, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Natal yang
penuh berkat dan sukacita!
0 komentar:
Posting Komentar